Rabu, 25 Mei 2011

Syariah


SHOLAT JAMA' DAN QASHAR

Qashar
Qashar adalah meringkas shalat empat raka’at (dhuhur, Ashar dan Isya) menjadi dua rakaat. (lihat Tafsir Ath Thabari 4/244, Mu’jamul Washit hal 738). Dasar mengqashar shalat adalah Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’. (lihat Al Mughni, Ibnu Qudamah 3/104 dan Al Majmu’ Syarah Muhadzdzab 4/165).
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalatmu, jika kamu takut diserang orang-orang kafir.” (QS. an Nisaa’: 101).
Dari Ya’la bin Umayyah bahwasanya ia bertanya kepada Umar Ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu tentang ayat ini seraya berkata: “’Jika kamu takut diserang orang-orang kafir’, padahal manusia telah aman?”. Sahabat Umar radhiallahu ‘anhu menjawab: “Aku sempat heran seperti keherananmu itu lalu akupun bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam tentang hal itu dan beliau menjawab:’(Qashar itu) adalah sedekah dari Allah kepadamu, maka terimalah sedekah Allah tersebut.’” (HR. Muslim dan Abu Dawud dll).
Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata: “Allah menentukan shalat melalui lisan Nabimu Shalallahu ‘Alaihi Wassalam empat raka’at apabila hadhar (mukim) dan dua raka’at apabila safar.” (HR. Muslim, Ibnu Majah, Abu Dawud dll).
Dari Umar radhiallahu ‘anhu berkata:”Shalat safar (musafir) adalah dua raka’at, shalat Jum’at adalah dua raka’at dan shalat ‘Ied adalah dua raka’at.”(HR.Ibnu Majah dan An Nasa’i dll dg sanad yg shahih).
Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma berkata: “Aku menemani Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dalam safar dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat, kemudian aku menemani Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat, kemudian aku menemani Umar radhiallahu ‘anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat, kemudian aku menemani Utsman radhiallahu ‘anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat. Dan Allah Ta’ala telah berfirman:
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu.””(QS al Ahzaab:21) (HR. Bukhari dan Muslim)
Berkata Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu : “Kami pergi bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dari kota Madinah ke kota Makkah, maka beliaupun shalat dua-dua (qashar) sampai kami kembali ke kota Madinah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
JARAK SAFAR YANG DIPERBOLEHKAN MENGQASHAR
Qashar hanya boleh dilakukan oleh Musafir-baik safar dekat atau safar jauh-, karena tidak ada dalil yang membatasi jarak tertentu dalam hal ini, jadi seseorang yang bepergian boleh melakukan qashar apabila bepergiannya bisa disebut safar menurut pengertian umumnya. sebagian ulama memberikan batasan dengan safar yang lebih dari 80 Km agar tidak terjadi kebingungan dan tidak rancu, namun pendapat ini tidak berdasarkan dalil shahih yang jelas. (lihat Al Muhalla, Ibnu Hazm 21/5, Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim 1/481, Fiqhua Sunnah, Sayyid Sabiq 1/307-308, As Shalah, Prof. Dr. Abdullah Ath Thayyar 160-161, Al Wajiz, Abdul Adhim Al Khalafi 138).
Apabila terjadi kerancuan dan kebingungan dalam menentukan jarak atau batasan diperbolehkannya mengqashar shalat maka tidak mengapa kita mengikuti pendapat yang menentukan jarak dan batasan tersebut-yaitu sekitar 80 atau 90 Km-, karena pendapat ini juga merupakan pendapat para Imam dan Ulama yang layak berijtihad. (lihat Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin 15/265).
Seorang musafir diperbolehkan mengqashar shalatnya apabila telah meninggalkan kampong halamannya sampai dia pulang kembali ke rumahnya. (Al Wajiz, Abdul ‘Adhim Al Khalafi 138).
Berkata Ibnu Mundzir: “Aku tidak mengetahui (satu dalilpun) bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam mengqashar dalam safarnya melainkan setelah keluar (meninggalkan) kota Madinah.”
Berkata Anas radhiallahu ‘anhu: “Aku shalat bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam di kota Madinah empar raka’at dan di Dzul Hulaifah (luar kota Madinah) dua raka’at.” (HR. Bukhari, Muslim dll).
SAMPAI KAPAN MUSAFIR BOLEH MENGQASHAR SHALAT
Para ulama berbeda pendapat tentang batasan waktu sampai kapan seseorang dikatakan sebagai musafir dan diperbolehkan mengqashar (meringkas) shalat. Jumhur (sebagian besar) ulama yang termasuk didalamnya imam empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali rahimahumullah berpendapat bahwa ada batasan waktu tertentu. Namun para ulama lain diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad Rasyid Ridha, Syaikh Abdur Rahman As Sa’di, Syaikh Bin Biz, Syaikh Utsaimin dan para ulama lainnya rahimahumullah berpendapat bahwa seorang musafir diperbolehkan untuk mengqashar shalat selama ia mempunyai niatan untuk kembali ke kampong halamannya walaupun ia berada di perantauannya selama bertahun-tahun. Karena tidak ada satu dalilpun yang shahih dan secara tegas menerangkan tentang batasan waktu dalam masalah ini. Dan pendapat inilah yang rajah (kuat) berdasarkan dalil-dalil yang sangat banyak, diantaranya:
Sahabat Jabir radhiallahu ‘anhu meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam tinggal di Tabuk selama dua puluh hari mengqashar shalat. (HR. Imam Ahmad dll dg sanad shahih)
Sahabat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam tinggal di Makkah selama sembilan belas hari mengqashar shalat. (HR. Bukhari).
Nafi’ rahimahullah meriwayatkan, bahwasanya Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma tinggal di azzerbaijan selama enam bulan mengqashar shalat. (Riwayat Al Baihaqi dll dg sanad shahih).
Dalil-dalil diatas jelaslah bahwa Rasulullah Shalallahu “alaihi Wassalam tidak memberikan batasan waktu tertentu untuk diperbolehkannya mengqashar shalat bagi musafir selama mereka mempunyai niatan untuk kembali ke kampung halamannya dan tidak berniat untuk menetap di daerah perantauan tersebut. (lihat Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin jilid 15, Irwa’ul Ghalil Syaikh Al Albani jilid 3, Fiqhus Sunnah 1/309-312).
SHALAT TATHAWWU’ / NAFILAH / SUNNAH BAGI MUSAFIR
Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak mengapa dan tidak makruh shalat nafilah/ tathawwu’ bagi musafir yang mengqashar shalatnya, baik nafilah yang merupakan sunnah rawatib (qobliyah dan ba’diyah) maupun yang lainnya. Dalil mereka adalah bahwasanya Rasulullah Shalallahu “alaihi Wassalam shalat delapan raka’at pada hari penaklukan kota Makkah atau Fathu Makkah dan beliau dalam keadaan safar. (HR. Bukhari ,Muslim)
Sebagian ulama berpendapat bahwa yang disyari’atkan adalah meninggalkan (tidak mengerjakan) shalat sunnah rawatib (qobliyah dan ba’diyah) saja ketika safar, dalil mereka adalah riwayat dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma bahwasanya beliau melihat orang-orang (musafir) yang shalat sunnah rawatib setelah selesai shalat fardu, maka beliaupun berkata: “Kalau sekiranya aku shalat sunnah rawatib setelah shalat fardu tentulah aku akan menyempurnakan shalatku (maksudnya tidak mengqashar). Wahai saudaraku, sungguh aku menemani Rasulullah Shalallahu “alaihi Wassalam dalam safar dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat, kemudian aku menemani Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat, kemudian aku menemani Umar radhiallahu ‘anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat, kemudian aku menemani Utsman radhiallahu ‘anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka’at sampai wafat. Dan Allah Ta’ala telah berfirman: “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah Shalallahu “alaihi Wassalam itu suri tauladan yang baik bagimu.”” (QS. Al Ahzab :21). (HR.Bukhari. Lihat zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim 1/315-316,473-475, Fiqhus Sunnah 1/312-313, Taudhihul Ahkam, Al Bassam 2/223-229. Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin 15/254)
Adapun shalat-shalat sunnah /nafilah/tathawwu’ lainnya seperti shalat malam, witir, sunnah fajar. dhuha, shalat yang ada sebab-sunnah wudhu dan tahiyyatul masjid- dan tathawwu’utlat adalah tidak mengapa dilakukan dan bahkan tetap disyari’atkan berdasarkan hadist-hadist shahih dalam hal ini.
JAMA’
Menjama’ shalat adalah menggabungkan antara dua shalat (Dhuhur dg Ashar atau Maghrib dg Isya’) dan dikerjakan dalam waktu salah satunya. Boleh seseorang melakukan jama’ taqdim dan jama’ ta’khir. (lihat Fiqus Sunnah 1/313-317).
Jama’ Taqdim adalah mengabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu shalat pertama, yaitu; Dhuhur dengan Ashar dikerjakan dalam waktu Dhuhur, Maghrib dan Isya dikerjakan dalam waktu Maghrib. Jama’ Taqdim harus dilakukan secara berurutan sebagaimana urutan shalat dan tidak boleh terbalik.
Adapun Jama’ Ta’khir adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu shalat kedua, yaitu Dhuhur dan Ashar dikerjakan dalam waktu Ashar, Maghrib dab Isya’ dikerjakan dalam waktu Isya’.Jama’ Ta’khir boleh dilakukan secara berurutan dan boleh pula tidak berurutan akan tetapi yang afdhal adalah dilakukan secara berurutan sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. (lihat Fatawa Muhimmah, Syaikh Bin Baz 93-94, Kitab As Shalah, Prof. Dr.Abdullah Ath Thayyar 177).
Menjama’ shalat boleh dilakukan oleh siapa saja yang memerlukannya-baik musafir atau bukan- dan tidak boleh dilakukan terus menerus tanpa udzur, jadi dilakukan ketika diperlukan saja. (lihat Taudhihul Ahkam, Al Bassam 2/308-310 dan Fiqhus Sunnah 1/316-317).
Termasuk udzur yang membolehkan seseorang untuk menjama’ shalatnya adalah musafir ketika masih dalam perjalanan dan belum sampai di tempat tujuan (HR. Bukhari, Muslim), turunnya hujan (HR. Muslim, Ibnu Majah dll), dan orang sakit. (Taudhihul Ahkam, Al Bassam 2/310, Al Wajiz, Abdul Adhim bin Badawi Al Khalafi 139-141, Fiqhus Sunnah 1/313-317).
Berkata Imam Nawawi rahimahullah :”Sebagian Imam (ulama) berpendapat bahwa seorang yang mukim boleh menjama’ shalatnya apabila diperlukan asalkan tidak dijadikan sebagai kebiasaan.” (lihat Syarah Muslim, imam Nawawi 5/219 dan Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz 141).
Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam menjama’ara Dhuhur dengan Ashar dan antara Maghrib dengan Isya’ di Madinah tanpa sebab takut dan safar (dalam riwayat lain; tanpa sebab takut dan hujan). Ketika ditanya hal itu kepada Ibnu Abbas beliau menjawab:”Bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam tidak ingin memberatkan umatnya.” (HR.Muslim dll. Lihat Sahihul Jami’ 1070).
MENJAMA’ JUM’AT DENGAN ASHAR
Tidak diperbolehkan menjama’ antara shalat Jum’at dengan shalat Ashar dengan alas an apapun-baik musafir, orang sakit, turun hujan atau ada keperluan dll-, walaupun dia adalah orang yang di perbolehkan menjama’ antara Dhuhur dengan Ashar.
Hal ini disebabkan tidak adanya dalil tentang menjama’ antara Jum’at dan Ashar, dan yang ada adalah menjama’ antara Dhuhur dan Ashar dan antara Maghrib dan Isya’. Jum’at tidak bisa diqiyaskan dengan Dhuhur karena sangat banyak perbedaan antara keduanya. Ibadah harus dengan dasar dan dalil, apabila ada yang mengatakan boleh maka silahkan dia menyebutkan dasar dan dalilnya dan dia tidak akan mendapatkannya karena tidak ada satu dalilpun dalam hal ini.
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: “Barangsiapa membuat perkara baru dalam urusan kami ini (dalam agama) yang bukan dari padanya (tidak berdasar) maka tertolak.”(HR. Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat lain: “Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintah kami (tidak ada ajarannya) maka amalannya tertolak.” (HR.Muslim).
Jadi kembali pada hukum asal, yaitu wajib mendirikan shalat pada waktunya masing-masing kecuali apabila ada dalil yang membolehkan untuk menjama’ dengan shalat lain. (Lihat Majmu’ Fatawa Syaihk Utsaimin 15/369-378)
JAMA’ DAN SEKALIGUS QASHAR
Tidak ada kelaziman antara jama’ dan qashar. Musafir disunahkan untuk mengqashar shalat dan tidak harus menjama’, yang afdhal bagi musafir yang telah menyelesaikan perjalanannya dan telah sampai di tujuannya adalah mengqashar saja tanpa menjama’ sebagaimana dilakukan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam ketika berada di Mina pada waktu haji wada’, yaitu beliau hanya mengqashar saja tanpa menjama’ (lihat Sifat haji Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, karya Al Albani), dan beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam pernah melakukan jama’ sekaligus qashar pada wkatu perang Tabuk. (HR. Muslim, lihat Taudhihul Ahkam, AL Bassam 2/308-309 ). Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam selalu melakukan jama’ sekaligus qashar apabila dalam perjalanan dan belum sampai tujuan. (As Shalah 181.Pendapat ini merupakan fatwa para ulama termasuk Syaikh Abdul Aziz bin Baz). Jadi Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam sedikit sekali menjama’ shalatnya karena beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam melakukannya ketika diperlukan saja. (lihat Taudhihul Ahkam, Al Bassam 2/308).
MUSAFIR SHALAT DIBELAKANG MUKIM
Shalat berjama’ah adalah wajib bagi orang mukim ataupun musafir, apabila seorang musafir shalat dibelakang imam yang mukim maka dia mengikuti shalat imam tersebut yaitu empat raka’at, namun apabila ia shalat bersama-sama musafir maka shalatnya di qashar (dua raka’at). Hal ini didasarkan atas riwayat yang shahih dati Ibnu Abbas radhiallahu anhuma. Berkata Musa bin Salamah: Suatu ketika kami di Makkah (musafir) bersama Ibnu Abbas, lalu aku bertanya:”Kami melakukan shalat empat raka’at apabila bersama kamu (penduduk Makkah), dan apabila kami kembali ke tempat kami (bersama-sama musafir) maka kami shalat dua raka’at?” Ibnu ABbas radhiallahu anhuma menjawab: “Itu adalah sunnahnya Abul Qasim (Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam).” (Riwayat Imam Ahmad dg sanad shahih. Lihat Irwa’ul Ghalil no 571 dan Tamamul Minnah, Syaikh AL ALbani 317).
MUSAFIR MENJADI IMAM MUKMIN
Apabila musafir dijadikan sebagai imam orang-orang mukim dan dia mengqashar shalatnya maka hendaklah orang-orang yang mukim meneruskan shalat mereka sampai selesai (empat raka’at), namun agar tidak terjadi kebingungan hendaklah imam yang musafir memberi tahu makmumnya bahwa dia shalat qashar dan hendaklah mereka (makmum yang mukim) meneruskan shalat mereka sendiri-sendiri dan tidak mengikuti salam setelah dia (imam) salam dari dua raka’at. Hal ini pernah dilakukan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam ketika berada di Makkah (musafir) dan menjadi imam penduduk Makkah, beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam berkata: “Sempurnakanlah shalatmu (empat raka’at) wahai penduduk Makkah! Karena kami adalah musafir.”(HR. Abu Dawud). Belai Shalallahu ‘Alaihi Wassalam shalat dua-dua (qashar) dan mereka meneruskan sampai empat raka’at setelah beliau salam. (lihat Al Majmu Syarah Muhadzdzab 4/178 dan Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin 15/269).
Apabila imam yang musafir tersebut khawatir membingungkan makmumnya dan dia shalat empat raka’at (tidak mengqashar) maka tidaklah mengapa karena hukum qashar adalah sunnah mu’akkadah dan bukan wajib. (lihat Taudhihul Ahkam, Syaikh Abdullah bin Abdir Rahman Al Bassam 2/294-295).
SHALAT JUM’AT YANG DIJAMAK BAGI MUSAFIR
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa tidak ada shalat jum’at bagi musafir, namun apabila musafir tersebut tinggal di suatu daerah yang diadakan shalat Jum’at maka wajib atasnya untuk mengikuti shalat Jum’at bersama mereka. Ini adalah pendapat imam Malik, imam Syafi’i, Ats Tsauriy, Ishaq, Abu Tsaur, dll. (lihat AL Mughni, Ibnu Qudamah 3/216, Al Majmu’ Syar Muhadzdzab, Imam Nawawi 4/247-248, lihat pula Majmu’ Fatawa Syaikh Utsaimin 15/370).
Dalilnya adalah bahwasanya Nabi Muhammad SAW apabila safar (bepergian) tidak shalat jum’at dalam safarnya, juga ketika haji wada’, beliau SAW tidak melaksanakan shalat Jum’at dan menggantinya dengan shalat Dhuhur yang di jama’ dengan Ashar. (lihat Hajjatun Nabi SAW Kama Rawaaha Anhu Jabir, karya Syaikh Muhammad Nasiruddin Al Albani hal 73). Demikian pula para Khulafa’ Ar Rasyidun (empat khalifah) radhiallahu anhum dan para sahabat lainnya radhiallahu anhum serta orang-orang yang setelah mereka apabila safar tidak shalat Jum’at dan menggantinya dengan Dhuhur. (lihat Al Mughni, Ibnu Qudamah 3/216).
Dari Al Hasan Al Basri, dari Abdur Rahman bin Samurah berkata: “Aku tinggal bersama dia (Al Hasan Al Basri) di Kabul selama dua tahun mengqashar shalat dan tidak shalat Jum’at.”
Sahabat Anas radhiallahu anhu tinggal di Naisabur selama satu atau dua tahun, beliau tidak melaksanakan shalat Jum’at.
Ibnul Mundzir rahimahullahu menyebutkan bahwa ini adalah Ijma’ (kesepakatan para ulama) yang berdasar hadist shaihi dalam hal ini sehingg tidak diperbolehkan menyelisihinya. (lihat Al Mughni, Ibnu Qudamah 3/216).
Di ambil dari materi Kajian Majelis Taklim dan Dakwah “Husnul Khotimah” Masjid An Nut Jagalan Malang, pengasuh Al Ustadz Abdullah Shaleh Al Hadromi. Mengerjakan sholat dengan cara dijama’ atau diqoshor ini didapat dari Rasulullah saw, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Malik dari Muadz bahwasanya pada suatu hari Nabi saw pernah mengakhirkan sholat di waktu peperangan Tabuk kemudian berliau saw pergi keluar dan mengerjakan sholat zhuhur dan ashar secara jama’. Setelah itu beliau saw masuk kemudian keluar dan mengerjakan sholat maghrib dan isya secara jama’.” Sedangkan dalil untuk sholat dengan cara diqoshor adalah apa yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, Abu Daud dan baihqi dari Yahya bin Yazid, ia berkata,”Aku bertanya kepada Anas bin Malik mengenai mengqoshor sholat. Ia menjawab, Rasulullah saw mengerjakan sholat dua rakaat jika sudah berjalan sejauh tiga mil atau satu farsakh.”
2. Jama’ (merangkap) dua sholat baik antara zhuhur dengan ashar maupun maghrib dengan isya bukanlah suatu kewajiban akan tetapi disunnahkan manakala ada salah satu dari beberapa persyaratannya.
3. Sebagaimana poin no 2 bahwa, seseorang diperbolehkan merangkap (menjama’) shalat zhuhur dengan ashar baik dengan cara taqdim (dikerjakan di waktu zhuhur) maupun dengan cara ta’khir (dikerjakan diwaktu ashar) atau menjama’ antara sholat maghrib dengan isya baik dengan cara taqdim maupun ta’khir apabila ada salah satu sebab diantara perkara berikut ini :
a. Menjama’ di Arafah dan Muzdalifah; para ulama sependapat bahwa sunnah menjama’ sholat zhuhur dan ashar dengan cara jama’ taqdim pada waktu zhuhur di Arafah, begitu juga antara sholat maghrib dan isya dengan cara ta’khir di waktu isya di Muzdalifah, sebagaimana yang pernah dilakukan Rasulullah saw.
b. Menjama’ didalam bepergian; menjama’ dua sholat ketika bepergian pada satu waktu dari kedua sholat itu, menurut sebagian besar ulama, adalah diperbolehkan tanpa ada perbedaan apakah dilakukan pada saat berhenti ataukah dalam perjalanan.
c. Menjama’ diwaktu hujan; Imam Bukhori meriwayatkan bahwa “Nabi saw pernah menjama’ antara sholat maghrib dan isya pada suatu malam yang diguyur hujan lebat.” Keringanan ini hanya khusus bagi orang yang mengerjakan sholat berjama’ah di masjid yang datang dari tempat yang jauh, hingga dengan adanya hujan dan sebagainya, hal itu menjadi penghalang dalam perjalanan. Adapun bagi orang yang rumahnya berdekatan dengan masjid atau orang yang mengerjakan sholat jama’ah di rumah, atau ia dapat pergi ke masjid dengan melindungi tubuh, ia tidak boleh menjama’.
d. Menjama’disebabkan sakit atau uzur; sebagaimana dikatakan oleh Imam Ahmad, Qodhi Husein, al Khottobi, Mutawalli dari golongan Syafi’i dikarenakan kesukaran di waktu sakit lebih besar daripada kesukaran di waktu hujan.
e. Menjama’ disebabkan adanya keperluan; Imam Nawawi mengatakan bahwa beberapa Imam membolehkan jama’ kepada orang yang tidak musafir apabila ia ada suatu kepentingan dengan syarat hal itu tidak dijadikannya kebiasaan. Ini juga pendapat Ibnu Sirin dan Asuhab dari golongan Maliki. Menurut al Khottobi bahwa ini juga pendapat dari Qoffal dan asy Syasyil Kabir dari golongan Syafi’i juga dari Ishaq Marwazi dan dari jama’ah ahli hadits.
4. Menjama’ bukanlah suatu kewajiban namun ia hanyalah keringanan yang disunnahkan bagi mereka yang memenuhi persyaratan untuk melakukannya. Dengan demikian apabila seseorang tidak mengambil keringanan ini atau menjama’ antara dua sholat baik dengan cara taqdim atau ta’khir maka hal itu dipebolehkan dan tidak ada dosa baginya.
5. Adapun sholat qoshor atau dengan memotong jumlah raka’at, sholat zhuhur, ashar dan isya menjadi dua rakaat sedangkan sholat maghrib tetap dilakukan dengan tiga rakaat. Anda dapat melakukan sholat dengan cara qoshor baik antara zhuhur dengan ashar atau antara maghrib dengan isya ketika anda melakukan suatu perjalanan yang mencapai jarak tempuh 16 farsakh (81 km) sebagaimana pendapat para ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali. Anda pun diperbolehkan memilih antara mengerjakan sholat dengan cara qoshor atau jama’ ketika anda berada didalam suatu perjalanan yang mencapai jarak tersebut.
6. Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Khottob bahasanya Rasulullah saw bersabda,”Sesungguhnya perbuatan itu tergantung dari niat dan bagi sertiap orang hanyalah apa yang ia niatkan.” (Muttafaq ‘Alaih). Jadi diterima tidaknya suatu amal seseorang termasuk sholat yang dilakukan baik dengan cara dijama’ atau diqoshor tergantung dari niatnya yang ada didalam hatinya. Niat ini tidak diharuskan dengan kata-kata yang diucapkan dengan lisan atau pun perkataan jiwa akan tetapi ia adalah kebangkitan (keinginan) hati terhadap suatu amal tertentu. Jadi apabila anda hendak melakukan sholat jama’ atau qoshor maka niatnya cukup dengan adanya keinginan didalam untuk melakukan perbuatan tersebut dengan hanya mengharap ridho Allah swt.